Wujudkan Mimpi Si buah hati
Di sudut ruangan disebuah rumah sederhana, seorang bapak duduk ditemani istrinya, sambil memandang anak-anaknya berkumpul menghabiskan waktu sore menuju magrib bercengkrama satu sama lain. Kebahagiaan dan keserhanaan menyelimuti keluarga kecil itu. Selintas kemudian, ada kekhawatiran yang menyelumuti setelah tangannya menggenggam secarik kertas bertandatangan Kepala Sekolah dan di Stempel basah.
“Bu, daftar perlengkapan sekolahnya banyak sekali,” ujarnya sambil menyerahkan selembar kertas kepada istrinya. Daftar itu mencakup seragam, sepatu, tas, buku tulis, dan alat tulis lainnya.
Bibirnya gemetar. “Bagaimana kita bisa membelinya, Pak? Hasil panen kita bulan ini saja tidak cukup untuk makan seminggu.”
Namun, saat mereka menatap anaknya yang tengah menggambar di sudut ruangan dengan kertas lusuh dan pensil yang hampir habis, hati mereka diliputi tekad. Anakku begitu gembira dengan kabar bahwa ia akan segera bersekolah.
“Anak kita harus sekolah, Bu,” ungkapnya. “Aku akan mencari cara.”
Keesokan harinya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Ia membawa karung dan cangkul, lalu menuju hutan di pinggir desa. Ia mengumpulkan kayu bakar untuk dijual di pasar. Siang harinya, ia juga menerima pekerjaan tambahan membantu memanen padi di sawah milik tetangga.
Setiap malam, sang istri duduk di teras, menjahit baju-baju bekas yang diberikan oleh tetangga untuk diubah menjadi seragam sekolah Mira. Meski sederhana, seragam itu dirapikan dengan penuh kasih sayang.
“Nak, kamu harus berterima kasih kepada ibu, ya,” ujarnya. “Dia menjahitkan seragammu dengan tangan sendiri.”
Anaknya mengangguk penuh semangat. “Terima kasih, Bu! Saya janji akan belajar yang rajin!”
Demikian hari-harinya diisi dengan mengantar anaknya ke sekolah, melewati jalan setapak di tepi sawah. Sepanjang perjalanan, ia menggenggam erat tangan putrinya. Saat tiba di gerbang sekolah, Ia berhenti sejenak, menatap anaknya yang berlari masuk dengan penuh semangat.
Hatinya lega. Meski perjuangan untuk membayar kebutuhan sekolah anaknya masih panjang, ia merasa telah melangkah ke arah yang benar. Di matanya, pendidikan adalah jembatan bagi anak-anaknya untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Ilusttrasi Foto Sumber : https://projectmultatuli.org
Doa Di Lorong Rumah sakit
Langit pagi di kota kecil itu masih kelabu. Bocah lelaki berusia 12 tahun, duduk di teras rumah sakit, menggenggam erat surat rujukan ke rumah sakit provinsi untuk ibunya. Surat itu menjanjikan harapan, tetapi juga menghadirkan kecemasan.
“Nak, kamu sudah makan?” tanya Ibunya, dengan suara lemah dari ranjang rumah sakit.
Ia menggeleng, lalu tersenyum kecil. “Nanti saja, Bu. Yang penting Ibu sembuh dulu.”
Ibunya mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik wajahnya yang pucat. Sejak seminggu lalu, kondisinya memburuk. Dokter menyarankan rujukan ke rumah sakit provinsi untuk penanganan lebih lanjut. BPJS memang menanggung biaya pengobatan, tetapi mereka tetap membutuhkan uang untuk biaya transportasi, makan, dan kebutuhan selama di rumah sakit.
Ayahnya, seorang buruh serabutan, belum kembali dari pasar tempat ia mencoba mencari tambahan uang. Sementara itu, Ia memutar otak, mencoba mencari cara agar mereka bisa berangkat esok pagi.
Sore itu, Ia memutuskan untuk pergi ke warung Tetangganya, memiliki kios kecil di ujung gang. Ia membawa sekeranjang singkong yang dikupasnya sejak pagi.
“Pak, saya mau jual singkong ini. Bantu saya, ya, Pak?” ucapnya dengan penuh harap.
Pemilik warung memandangnya dengan iba. Ia tahu kondisi keluarganya. “Nak, ini tidak seberapa, tapi semoga bisa membantu,” kata pemilik warung sambil menyerahkan beberapa lembar uang.
Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ia kembali ke rumah sakit dengan langkah ringan, menyerahkan uang itu kepada ayahnya yang baru tiba.
“Kita hampir cukup, Nak,” kata ayahnya, mengusap kepalanya. “Terima kasih sudah bantu Ayah.”
Hari-hari berlalu di rumah sakit provinsi. Perawatan intensif mulai menunjukkan hasil. Kondisi Ibunya perlahan membaik. Dokter memberi kabar bahwa ia boleh pulang dalam waktu seminggu.
Ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia membantu ibunya berjalan di taman kecil rumah sakit.
“Ibu pasti sembuh, kan?” tanya dia.
Ibunya mengangguk, tersenyum meski masih lemah. “Ibu harus sembuh, Nak. Untuk kalian.”
Ilusttrasi Foto Sumber : https://tagar.co
Panen Harapan di ladang Kehidupan
Di sebuah desa subur di kaki gunung, Pak Mulyadi, seorang petani yang dikenal rajin dan jujur. Bersama istrinya, dan dua anaknya, mereka menempati rumah sederhana di hamparan sawah hijau. Hidup mereka berkecukupan, tetapi bulan-bulan terakhir terasa sangat berat.
Biaya sekolah anaknya yang duduk di bangku SMA dan yang baru masuk SD menguras tabungan mereka. Ditambah lagi, musim tanam sebelumnya sempat gagal panen karena hama. Untuk menyambung hidup, Pak Mulyadi terpaksa meminjam uang dari tengkulak di desa.
“Pak, panen kali ini harus berhasil,” kata istrinya suatu malam sambil menghidangkan nasi dan sayur kangkung. “Semua kebutuhan kita bergantung pada hasil padi itu.”
Pak Mulyadi mengangguk, tetapi matanya memandang jauh ke arah sawah mereka yang mulai menguning. “Aku tahu, Bu. Doakan saja semoga cuaca bersahabat dan hasil panen melimpah.”
Saat panen tiba, sawah Pak Mulyadi sudah siap dipetik. Gabah mulai menguning sempurna, dan angin yang bertiup membawa aroma padi yang menenangkan hati. Namun, masalah baru muncul: mereka tidak punya uang untuk membayar pekerja memanen.
“Pak, kita bagaimana? Kalau padi tidak segera dipanen, bisa rusak,” tanya istrinya cemas.
Pak Mulyadi menghela napas panjang. “Aku akan mencoba meminjam lagi ke Pak Harto, meski bunganya tinggi.”
Namun, usaha itu sia-sia. Pak Harto menolak memberi pinjaman tambahan karena utang sebelumnya belum dilunasi. Dengan langkah berat, Pak Mulyadi pulang, tetapi dalam benaknya ia tidak mau menyerah.
“Kita akan memanen sendiri, Bu,” katanya akhirnya. “Aku, kamu, dan anak-anak. Kita kerjakan bersama.”
Keesokan paginya, keluarga Pak Mulyadi turun ke sawah. Dengan sabit di tangan, mereka mulai memanen padi di bawah terik matahari. Keringat mengucur deras, tetapi mereka terus bekerja dengan tekad bulat.
“Kita tidak sendirian, Pak,” Allah pasti bantu kita, sambil menyeka air mata haru”.
Kerja keras tak kenal lelah, akhirnya Panen pun selesai. Saat gabah mulai dijual, hasilnya cukup memuaskan. Pak Mulyadi segera melunasi utang, sisanya digunakan untuk membayar sekolah anak, membeli kebutuhan sehari-hari, dan menabung sedikit untuk rencana naik haji yang telah lama mereka impikan.

Ilusttrasi Foto Sumber : https://depositphotos.com/id/photo
Dari Mendengar Hingga Mewujudkan Harapan
Ketiga cerita di atas, meski tampak seperti kisah fiksi, sebenarnya menggambarkan realitas yang pernah dialami oleh Bupati Sumbawa Barat, H. Amar Murmansyah, ST, M.Si, dalam perjalanannya menyusuri desa-desa dan mendengarkan langsung keluhan warganya. Berbagai persoalan warga terekam dibenaknya, dari persoalan orang tua yang kesulitan biaya masuk sekolah anaknya, biaya rujukan pasien rumah sakit, biaya panen petani, rumah yang tidak memiliki listrik, rumah yang masih belum layak huni, keluhan kebutuhan hidup keluarga miskin, yatim piatu, UMKM yang terjerat riba, para nelayan yang ingin meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan masih banyak lagi persoalan yang hari demi hari diterima, dan harus dicarikan solusinya. Sebagai pemimpin, H. Amar memahami bahwa setiap permasalahan, baik itu soal pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan dasar, memerlukan solusi yang tidak hanya bersifat sementara tetapi juga menyeluruh. Dirinya ingin mengambil bagian dari setiap persoalan yang dihadapi oleh warganya, mengurangi beban hidup, dan menjadi teman dalam kesusahan yang dihadapi oleh mereka. Pengalaman mendengar curahan hati masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Program Kartu KSB Maju.
Program Kartu KSB Maju merupakan manifestasi dari visi dan komitmen seorang pemimpin yang ingin memberikan solusi nyata bagi berbagai persoalan warganya. Kartu ini dirancang multifungsi, mengintegrasikan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat dalam satu program yang holistik. Dengan kartu ini, keluarga seperti yang dikisahkan dalam cerita diatas, tidak lagi harus merasa terpinggirkan oleh keterbatasan finansial. Mereka memiliki akses yang lebih mudah untuk pendidikan, pengobatan, hingga peluang memperbaiki taraf hidup mereka.
Apa yang dilakukan H. Amar Murmansyah menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati adalah dia yang tidak hanya duduk di balik meja kekuasaan, tetapi turun langsung merasakan denyut kehidupan warganya. Kartu KSB Maju bukan hanya sekadar program, melainkan wujud dari empati dan dedikasi seorang pemimpin yang percaya bahwa kesejahteraan masyarakat adalah prioritas utama. Dengan program ini, H. Amar Nurmansyah telah membuktikan bahwa harapan dan mimpi masyarakat Sumbawa Barat untuk hidup lebih baik bukanlah hal yang mustahil, melainkan sesuatu yang dapat diwujudkan bersama.
Roy Marhandra, M.Sos ( Pranata Hubungan Masyarakat Ahli Muda Serketariat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat)